Khamis, 20 Oktober 2011

ASING .

Lalu kau berlalu
Di hadapan mata tajamku
Tanpa menoleh
Merenung aku yang di situ
Menunggu

Ku menanti kau setiap pagi
Setia di bangku ini
Menunggu pagi dan mentari
Tapi kau tak menoleh
Kerna ku tahu diriku yang asing

Ingin ku kejar
Tapi apakan daya
Hati masih lagi kan asing
Dengan rasa yang asing ini
Ku biarkan diriku terus menunggu di bangku
Yang asing

Berjalan. Separa perlahan.

Duduk di bangku kayu. Berkeriut bunyinya. Bangku yang sudah tua, bukan aku yang berat. Kalaupun berat, salahkan graviti dari perut bumi.

Duduk merenung dan mentafsir setiap tingkah laku manusia. Macam macam ragam, macam macam gaya dan macam macam jenis. Aku tak tahu, bagaimana pula mereka mentafsir aku. Biarkan aku yang merasa, akulah penganalisis manusia pertama dalam dunia.

Tiba tiba, kau lalu. Lalu tanpa sekalipun memandang wajah bahagia yang gembira melihat si dewi yang di depan mata. Berlalu pergi, bagai angin menghembus laju merentasi awan biru.

Dan masih lagi, seperti biasa, membiarkan aku yang asing.

Asing di bangku kayu ini. Setiap hari.